KISAH
SEPANJANG JALAN*
Di
stasiun kereta api bawah tanah Tokyo, aku merapatkan mantel wol tebalku
erat-erat. Pukul 5 pagi. Musim dingin yang hebat. Udara terasa beku mengigit.
Januari ini memang terasa lebih dingin dari tahun-tahun sebelumnya. Di luar
salju masih turun dengan lebat sejak kemarin. Tokyo tahun ini terselimuti salju
tebal, memutihkan segenap pemandangan. Stasiun yang selalu ramai ini agak sepi
karena hari masih pagi. Ada seorang kakek tua di ujung kursi, melenggut menahan
kantuk. Aku melangkah perlahan ke arah mesin minuman. Sesaat setelah sekeping
uang logam aku masukkan, sekaleng capucino hangat berpindah ke tanganku. Kopi
itu sejenak menghangatkan tubuhku, tapi tak lama karena ketika tanganku
menyentuh kartu pos di saku mantel, kembali aku berdebar. Tiga hari yang lalu
kartu pos ini tiba di apartemenku. Tidak banyak beritanya, hanya sebuah pesan
singkat yang dikirim adikku, "Ibu sakit keras dan ingin sekali bertemu
kakak. Kalau kakak tidak ingin menyesal, pulanglah meski sebentar, kakÂ".
Aku mengeluh perlahan membuang sesal yang bertumpuk di dada. Kartu pos ini
dikirim Asih setelah beberapa kali ia menelponku tapi aku tak begitu menggubris
ceritanya. Mungkin ia bosan, hingga akhirnya hanya kartu ini yang dikirimnya.
Ah, waktu seperti bergerak lamban, aku ingin segera tiba di rumah, tiba-tiba
rinduku pada ibu tak tertahan. Tuhan, beri aku waktu, aku tak ingin menyesalÂ?c
Sebenarnya aku sendiri masih tak punya waktu untuk pulang. Kesibukanku bekerja
di sebuah perusahaan swasta di kawasan Yokohama, ditambah lagi mengurus dua
puteri remajaku, membuat aku seperti tenggelam dalam kesibukan di negeri sakura
ini. Inipun aku pulang setelah kemarin menyelesaikan sedikit urusan pekerjaan
di Tokyo. Lagi-lagi urusan pekerjaan. Sudah hampir dua puluh tahun aku menetap
di Jepang. Tepatnya sejak aku menikah dengan Emura, pria Jepang yang aku kenal
di Yogyakarta, kota kelahiranku. Pada saat itu Emura sendiri memang sedang di
Yogya dalam rangka urusan kerjanya. Setahun setelah perkenalan itu, kami menikah.
Masih tergambar jelas dalam ingatanku wajah ibu yang menjadi murung ketika aku
mengungkapkan rencana pernikahan itu. Ibu meragukan kebahagiaanku kelak menikah
dengan pria asing ini. Karena tentu saja begitu banyak perbedaan budaya yang
ada diantara kami, dan tentu saja ibu sedih karena aku harus berpisah dengan
keluarga untuk mengikuti Emura. Saat itu aku berkeras dan tak terlalu
menggubris kekhawatiran ibu. Pada akhirnya memang benar kata ibu, tidak mudah
menjadi istri orang asing. Di awal pernikahan begitu banyak pengorbanan yang
harus aku keluarkan dalam rangka adaptasi, demi keutuhan rumah tangga. Hampir
saja biduk rumah tangga tak bisa kami pertahankan. Ketika semua hampir karam,
Ibu banyak membantu kami dengan nasehat-nasehatnya. Akhirnya kami memang bisa
sejalan. Emura juga pada dasarnya baik dan penyayang, tidak banyak tuntutan.
Namun ada satu kecemasan ibu yang tak terelakkan, perpisahan. Sejak menikah aku
mengikuti Emura ke negaranya. Aku sendiri memang sangat kesepian diawal masa
jauh dari keluarga, terutama ibu, tapi kesibukan mengurus rumah tangga
mengalihkan perasaanku. Ketika anak-anak beranjak remaja, aku juga mulai
bekerja untuk membunuh waktu. Aku tersentak ketika mendengar pemberitahuan
kereta Narita Expres yang aku tunggu akan segera tiba. Waktu seperti terus
memburu, sementara dingin semakin membuatku menggigil. Sesaat setelah melompat
ke dalam kereta aku bernafas lega. Udara hangat dalam kereta mencairkan sedikit
kedinginanku. Tidak semua kursi terisi di kereta ini dan hampir semua penumpang
terlihat tidur. Setelah menemukan nomor kursi dan melonggarkan ikatan syal
tebal yang melilit di leher, aku merebahkan tubuh yang penat dan berharap bisa
tidur sejenak seperti mereka. Tapi ternyata tidak, kenangan masa lalu yang
terputus tadi mendadak kembali berputar dalam ingatanku. Ibu..ya betapa
kusadari kini sudah hampir empat tahun aku tak bertemu dengannya. Di tengah
kesibukan, waktu terasa cepat sekali berputar. Terakhir ketika aku pulang
menemani puteriku, Rikako dan Yuka, liburan musim panas. Hanya dua minggu di
sana, itupun aku masih disibukkan dengan urusan kantor yang cabangnya ada di
Jakarta. Selama ini aku pikir ibu cukup bahagia dengan uang kiriman ku yang
teratur setiap bulan. Selama ini aku pikir materi cukup untuk menggantikan semuanya.
Mendadak mataku terasa panas, ada perih yang menyesakkan dadaku. "Aku
pulang bu, maafkan keteledoranku selama ini�c"
bisikku perlahan. Cahaya matahari pagi meremang. Kereta api yang melesat cepat
seperti peluru ini masih terasa lamban untukku. Betapa masih jauh jarak yang
terentang. Aku menatap ke luar. Salju yang masih saja turun menghalangi
pandanganku. Tumpukan salju memutihkan segenap penjuru. Tiba-tiba aku teringat
Yuka puteri sulungku yang duduk di bangku SMA kelas dua. Bisa dikatakan ia tak berbeda
dengan remaja lainnya di Jepang ini. Meski tak terjerumus sepenuhnya pada
kehidupan bebas remaja kota besar, tapi Yuka sangat ekspresif dan semaunya. Tak
jarang kami berbeda pendapat tentang banyak hal, tentang norma-norma pergaulan
atau bagaimana sopan santun terhadap orang tua. Aku sering protes kalau Yuka
pergi lama dengan teman-temannya tanpa idzin padaku atau papanya. Karena aku
dibuat menderita dan gelisah tak karuan dibuatnya. Terus terang kehidupan
remaja Jepang yang kian bebas membuatku khawatir sekali. Tapi menurut Yuka hal
itu biasa, pamit atau selalu lapor padaku dimana dia berada, menurutnya membuat
ia stres saja. Ia ingin aku mempercayainya dan memberikan kebebasan padanya.
Menurutnya ia akan menjaga diri dengan sebaik-baiknya. Untuk menghindari
pertengkaran semakin hebat, aku mengalah meski akhirnya sering memendam
gelisah. Riko juga begitu, sering ia tak menggubris nasehatku, asyik dengan
urusan sekolah dan teman-temannya. Papanya tak banyak komentar. Dia sempat
bilang mungkin itu karena kesalahanku juga yang kurang menyediakan waktu buat
mereka karena kesibukan bekerja. Mereka jadi seperti tidak membutuhkan mamanya.
Tapi aku berdalih justru aku bekerja karena sepi di rumah akibat anak-anak yang
berangkat dewasa dan jarang di rumah. Dulupun aku bekerja ketika si bungsu Riko
telah menamatkan SD nya. Namun memang dalam hati ku akui, aku kurang bisa
membagi waktu antara kerja dan keluarga. Melihat anak-anak yang cenderung
semaunya, aku frustasi juga, tapi akhirnya aku alihkan dengan semakin menenggelamkan
diri dalam kesibukan kerja. Aku jadi teringat masa remajaku. Betapa ku ingat
kini, diantara ke lima anak ibu, hanya aku yang paling sering tidak mengikuti
anjurannya. Aku menyesal. Sekarang aku bisa merasakan bagaimana perasaan ibu
ketika aku mengabaikan kata-katanya, tentu sama dengan sedih yang aku rasakan
ketika Yuka jatau Riko juga sering mengabaikanku. Sekarang aku menyadari dan
menyesali semuanya. Tentu sikap kedua puteri ku adalah peringatan yang Allah
berikan atas keteledoranku dimasa lalu. Aku ingin mencium tangan ibu.... Di
luar salju semakin tebal, semakin aku tak bisa melihat pemandangan, semua
menjadi kabur tersaput butiran salju yang putih. Juga semakin kabur oleh rinai
air mataku. Tergambar lagi dalam benakku, saat setiap sore ibu mengingatkan
kami kalau tidak pergi mengaji ke surau. Ibu sendiri sangat taat beribadah.
Melihat ibu khusu' tahajud di tengah malam atau berkali-kali mengkhatamkan
alqur'an adalah pemandangan biasa buatku. Ah..teringat ibu semakin tak tahan
aku menanggung rindu. Entah sudah berapa kali kutengok arloji dipergelangan
tangan. Akhirnya setelah menyelesaikan semua urusan boarding-pass di bandara
Narita, aku harus bersabar lagi di pesawat. Tujuh jam perjalanan bukan waktu
yang sebentar buat yang sedang memburu waktu seperti aku. Senyum ibu seperti
terus mengikutiku. Syukurlah, Window-seat, no smoking area, membuat aku sedikit
bernafas lega, paling tidak untuk menutupi kegelisahanku pada penumpang lain
dan untuk berdzikir menghapus sesak yang memenuhi dada. Melayang-layang di atas
samudera fasifik sambil berdzikir memohon ampunan-Nya membuat aku sedikit
tenang. Gumpalan awan putih di luar seperti gumpalan-gumpalan rindu pada ibu.
Yogya belum banyak berubah. Semuanya masih seperti dulu ketika terakhir aku
meninggalkannya. Kembali ke Yogya seperti kembali ke masa lalu. Kota ini
memendam semua kenanganku. Melewati jalan-jalan yang dulu selalu aku lalui,
seperti menarikku ke masa-masa silam itu. Kota ini telah membesarkanku, maka
tak terbilang banyaknya kenangan didalamnya. Terutama kenangan-kenangan manis
bersama ibu yang selalu mewarnai semua hari-hariku. Teringat itu, semakin tak
sabar aku untuk bertemu ibu. Rumah berhalaman besar itu seperti tidak lapuk
dimakan waktu, rasanya masih seperti ketika aku kecil dan berlari-lari diantara
tanaman-tanaman itu, tentu karena selama ini ibu rajin merawatnya. Namun ada
satu yang berubah, ibu... Wajah ibu masih teduh dan bijak seperti dulu, meski
usia telah senja tapi ibu tidak terlihat tua, hanya saja ibu terbaring lemah
tidak berdaya, tidak sesegar biasanya. Aku berlutut disisi pembaringannya,
"Ibu...Rini datang, bu..", gemetar bibirku memanggilnya. Ku raih
tangan ibu perlahan dan mendekapnya didadaku. Ketika kucium tangannya, butiran
air mataku membasahinya. Perlahan mata ibu terbuka dan senyum ibu, senyum yang
aku rindu itu, mengukir di wajahnya. Setelah itu entah berapa lama kami
berpelukan melepas rindu. Ibu mengusap rambutku, pipinya basah oleh air mata.
Dari matanya aku tahu ibu juga menyimpan derita yang sama, rindu pada anaknya
yang telah sekian lama tidak berjumpa. "Maafkan Rini, Bu.." ucapku
berkali-kali, betapa kini aku menyadari semua kekeliruanku selama ini. Baca
Juga *Cerpen Cinta* yang lainnya dan
saya Ucapkn Banyak Terimakasih
wahhh hebatt banget
BalasHapus